Rabu, 19 Desember 2012

MENAFSIR AKAR KONFLIK UNHALU BERDARAH

MENAFSIR AKAR KONFLIK UNHALU BERDARAH 
Sultra adalah daerah multi etnis yang di huni oleh berbagai suku dengan berbagai macam bahasa. Keanekaragaman ini bisa menjadi pemicu munculnya konflik social dalam masyarakat, karena masing-masing suku ingin mengambil peran-peran tertentu baik peran dalam proses kekuasaan maupun peran lain dalam masyarakat. Pada masyarakat multi etnis, pihak yang diuntungkan dan dirugikan tersebut selalu di identifikasikan, baik sebagai kenyataan maupun di persepsikan dengan kelompok etnis tertentu.  Artinya bahwa sebuah posisi selalu dianggap hanya akan menguntungkan etnis tertentu.

 

Dalam konflik yang terjadi di kampus Unhalu sering kali dikaitkan dengan etnis tertentu dan hal ini sudah sering terjadi. Walaupun kadang hanya persoalan kecil tapi sering kali persoalan kecil tersebut menjadi besar karena selalu dikaitkan dengan etnis tertentu. Dan setiap kali terjadi konflik orang selalu bertanya suku apa berkonflik dengan suku apa, bukannya siapa dengan siapa. Ketika sebuah konflik, sekecil apapun ketika sudah menyeret nama etnis pasti akan cepat membesar, karena setiap orang merasa harga dirinya terinjak ketika sukunya dilecehkan dan mereka akan cenderung untuk bersatu atas nama etnis mereka. Kadang rasa persatuan ini terbentuk diluar kesadaran mereka, karena ada kekuatan etnis yang berjalan diluar rasa kesadaran mereka. Konflik yang terjadi diunhalu seringkali bertepatan dengan moment-moment tertentu seperti pilgub, pilwali, atau pemilihan rektor. Sebelumnya, pada tahun 2008 yang lalu kejadian seperti ini juga terjadi, dimana pada 2008 yang lalu juga melibatkan  etnis. Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu konflik berdarah di kampus Unhalu:

1.      Faktor Politik

Seingat saya pada 2008 yang saat menjelang pemilihan Gubernur dan pemilihan Rektor kasus konflik seperti yang terjadi saat ini juga terjadi. Anehnya isu seperti ini selalu melibatkan etnis muna dan etnis tolaki. Kondisi ini membuat kita   berpikir bahwa kejadian yang terjadi di Unhlau tidak murni konflik etnis. Tapi bisa jadi ini merupakan konflik politik, mengingat selama ini setiap gerak politik yang terjadi di Sultra selalu terkonsentrasi di wilayah kampus. Selain itu daerah kampus merupakan daerah paling rawan terjadinya isu konflik etnis. Dalam pilgub sultra peran kampus sangat besar dalam menentukan arah pergerakan politik sultra, karena patron dalam mengukur kekuatan politik satu kelompok akan sangat ditentukan komunitas kampus. Hal ini dikarenakan masih banyak masyarakat sultra yang apatis dengan politik dan walaupun ada mereka hanya sebatas menjadi penonton dan pendengar baik dari pinggir lapangan, dan kalaupun ikut bermain bukan karena paham dengan permainan yang sedang dimainkan tapi karena terprofokasi oleh kelompok tertentu.

Model konflk ini sebenarnya bukan lagi sesuatu yang baru, karena kejadian seperti ini merupakan sebuah pengulangan peristiwa. Saya melihat ada kelompok tertentu yang ingin merebut posisi-posisi tertentu, baik dalam proses politik maupun dalam posisi jabatan birokrasi. Dalam perebutan kekuasaan ini yang umum terjadi adalah dengan membangkitkan sifat primordialisme kedaerahan. Dengan cara seperti ini kelompok-kelompok tertentu akan mempunyai kekuatan karena mereka dipersatukan oleh kekuatan kedaerahan. Cara pelibatan etnis dalam proses politik sudah sering terjadi. Politik lokal yang menunjukan warna etnis ini sangat mencolok terjadi pasca runtuhnya orde baru.

Politik lokal yang melibatkan etnis ini juga pernah terjadi di Kalimantan Barat, dimana etnis Dayak dan Melayu berkonflik dalam memperebutkan posisi kekuasaan dalam pemerintahan. Hal yang sama juga terjadi pada kasus Sampit, dimana persoalan ini pada awalnya merupakan persoalan kecil, tapi kemudian persoalannya menjadi besar karena dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk merebut posisi-posisi tertentu dalam kekuasaan. Di Sultra dalam beberapa pemilihan pada periode-periode sebelumnya isu etnis ini sudah sering di lontarkan. Sehingga isu konflik etnis ini sepertinya sengaja dipelihara dan akan dihembuskan ketika ada kelompok tertentu yang memiliki kepentingan politik tertentu. Baik menyangkut persoalan politik sultra secara umum maupun menyangkut persoalan politik internal Unhalu. Dalam proses politik semacam ini manusia memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengkalkulasi konflik. Manusia menggunakan menggunakan konflik untuk menghadapi kompetisi politik menang kalah.

2.      Faktor Kepentingan.

Setiap orang memiliki kepentingan yang tidak sama. Hal ini sangat ditentukan oleh visi hidup masing-masing individu. Perbedaan pandangan hidup ini akan berimpilkasi pada karakter yang mengantar mereka untuk mengejar sumber daya yang akan mendekatkan pada tujuan-tujuan mereka. Disamping itu ada keinginan atau naluri untuk mempertahankan hidup sehingga keinginan ini akan melahirkan kepentingan-kepentingan dalam diri individu-individu tertentu.

Kondisi tersebut dengan sendirinya akan meciptakan lahirnya individu-individu yang penuh dengan ambisi untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka walaupun bertentangan dengan keinginan orang banyak. Perbedaan kepentingan ini adalah sesuatu yang wajar mengingat kehidupan umat manusia saat ini sudah ditentukan  oleh sekumpulain nilai-nilai tertentu. Disamping itu sumber daya yang tersedia untuk diperrebutkan terbatas jumlahnya dan oleh karena itu orang harus berkompetisi untuk merebut sumberdaya-sumberdaya yang tersedia.  Oleh karena itu pada akhirnya setiap individu harus berjuang demi mendapatkan jabatan, kekuasaan, gengsi dan lain sebagainya. Dan perjuangan dalam merebut kepentingan ini seringkali bertabrakan dengan kepentingan pihak lain yang kemudian menjadi konflik.

3.      Faktor Primordial Sempit

Faktor pemicu primordial ini saya harus sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Rektor Unhalu, bahwa kekacauan di Kampus unhalu dikarenakan oleh pengaruh primordialisme sempit. Kampus Unhalu memang menjadi daerah rawan dan rentan terhadap isu-isu yang menyangkut etnis mengingat kampus Unhalu sebagai sebuah miniatur sultra. Didalam kampus unhalu terbentuk kekerabatan kedaerahan yang kuat yang berangkat dari solidaritas kesukuan yang tinggi.

Selain itu ada ego suku yang ingin dikatakan besar dan kuasa ketika mereka berhasil merebut posisi-posisi strategis dalam kampus. Persoalan siapa yang menguasai kampus, baik posisi rektor, Senat mahasiswa dan lain sebagainya selalu dipersepsikan dengan etnis tertentu dan ini yang terjadi selama ini. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh efendi bahwa pada masyarakat multi etnis, pihak yang diuntungkan dan dirugikan selalu di identifikasikan, baik sebagai kenyataan maupun di persepsikan dengan kelompok etnis tertentu.

4.      Dominasi Etnis Atas Etnis Tertentu

Konflik juga bisa disebabkan oleh dominasi kelompok etnis tertentu atas etnis yang lain, dominasi ini sering dipersepsikan secara negatif oleh etnis yang lain. Daerah yang struktur sosialnya terdiri atas multi etnis sistim dominasi ini sering terjadi. Dominasi ini tidak lepas dari fakta hubungan kekuasaan dalam sistem sosial, dan sifat kekuasaan adalah mendominasi dan diperebutkan. Fakta ini sering menciptakan masalah yang selalu muncul. Pada kondisi dominasi struktural, kelompok yang berada dalam struktur dengan berbagai perangkat wewenang mampu mengarahkan berbagai bentuk kebijakan pada pada orang lain di luar struktur . Ketika dominasi diciptakan dari kondisi semacam ini akan selalu dipersepsikan oleh kelompok lain sebagai tindakan menguasai dan menundukan. Sistem dominasi ini pada tataran mahasiswa terletak pada siapa yang mampu merebut posisi tertinggi dalam hal ini jabatan tertinggi mahasiswa. Ketika sebuah etnis mampu merebut posisi ini maka dengan sendirinya ikelompok etnis yang lain akan merasa bahwa mereka dalam kelompok yang dikuasai.
 
Artikelnya gue Ambil di Blog tetangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar